1. Di Yoh 19:28 Yesus mengatakan bahwa Dia berkata “Aku haus!” supaya genaplah apa yang tertulis dalam Kitab Suci. Pertanyaannya, bagian mana dalam Kitab Suci yg menggenapi kata2 “Aku haus” dari Yesus ini?
Dalam naskah asli Alkitab, tidak ada referensi dari mana kalimat-kalimat kutipan itu diambil, termasuk kutipan kalimat “Aku haus” oleh Tuhan Yesus. Dalam hal ini, belum ada kesepakatan penuh di kalangan peneliti Alkitab dari bagian kitab suci mana Tuhan Yesus mengutip kalimat “Aku haus”. Tapi satu ayat yang bisa kita pertimbangkan dengan serius, yaitu Mazmur 69:22 yang berkata “pada waktu aku haus, mereka memberi aku minum anggur asam.” Perkataan mazmur ini sangat dekat sekali dengan catatan Yohanes 19:28 di mana Tuhan Yesus berkata “Aku haus”, dan kemudian di ayat 29 ada seorang serdadu yang menawarkan anggur asam kepada-Nya.
2. Apa sebenarnya arti dari air hidup? Apa merujuk pada keselamatan atau hal yang lain?
Istilah “air hidup” (Eng. “living water”) di Alkitab biasanya merujuk pada air yang mengalir atau mata air yang meluap2. Di Injil Yohanes sendiri, Tuhan Yesus berkali-kali menggunakan istilah “air hidup”. Misalnya di Yohanes 7:37-38, Tuhan Yesus berkata, “Barangsiapa percaya kepada-Ku, seperti yang dikatakan oleh Kitab Suci: Dari dalam hatinya akan mengalir aliran-aliran air hidup.” Apa artinya “air hidup” di sini? Ayat 39 kemudian menjelaskan, “Yang dimaksudkan-Nya ialah Roh yang akan diterima oleh mereka yang percaya kepada-Nya”
Jadi istilah “air hidup” khususnya di Injil Yohanes, itu bisa dimengerti sebagai sebagai pemberian dan karya Roh Kudus dalam hidup orang beriman. Pemberian Roh Kudus menandakan seseorang memiliki keselamatan atau hidup yang kekal. Namun hidup kekal yang Tuhan janjikan tidak hanya sebatas jaminan akan masuk surga saja, tetapi hidup yang penuh berkat dari Tuhan, berkat yang berlimpah-limpah, secara khusus namun tidak terbatas pada berkat secara rohani ( Yohanes 10:10 – “Aku datang, supaya mereka mempunyai hidup, dan mempunyainya dalam segala kelimpahan.”)
3. Apakah sebutan Yesus sebagai “100% Allah, 100% manusia” sudah tepat untuk mendeskripsikan konsep dwi-natur Yesus? Karna kalau Yesus 100% Allah maka tidak ada sisa persentase lagi buat kemanusiaannya, dan sebaliknya kalau Yesus 100% manusia maka tidak ada sisa persentase lagi buat keilahiannya.
Untuk meresponi pertanyaan ini, mari kita melihat apa yang gereja mula-mula terima secara universal mengenai dwi-natur dan kesatuan pribadi Tuhan Yesus. Di Konsili Kalsedon (451 M) gereja menerima bahwa Tuhan Yesus adalah Allah sejati dan manusia sejati. Itu sebabnya sering dipakai istilah 100% Allah, 100% manusia. Pada saat yang sama, gereja juga menerima bahwa Tuhan Yesus itu adalah satu pribadi yang sama dan integral. Gereja mula-mula kesatuan dwi natur Kristus sebagai penyatuan hipostatik (hypostatic union), di mana kedua natur Kristus yang Allah sejati dan manusia sejati itu tidak tercampur (bukan hybrid), tidak pudar (kedua naturnya terjaga dengan sempurna), dan keduanya menyatu tanpa terpisah ataupun terbagi.
Di sinilah banyak orang menjadi bingung, bagaimana 100% Allah + 100% manusia bisa tetap adalah satu pribadi? Namun sebaliknya, kita juga tidak bisa menyimpulkan bahwa Kristus adalah 50% Allah dan 50% manusia. Kalau 50-50, berarti Tuhan Yesus bukan sepenuhnya Allah, dan bukan sepenuhnya manusia (setengah Allah, setengah manusia), dan ini berlawanan dengan apa yang diakui oleh gereja mula-mula di Konsili Kalsedon. Di sinilah letak keunikan dan misteri dwinatur dan kesatu-pribadian dari Kristus, dan betapa terbatasnya logika nalar kita untuk mengerti dwi natur Tuhan Yesus dengan tuntas.
4. Kalau Kristus memiliki dwi natur, apakah ini berarti waktu Maria melahirkan bayi Yesus dia melahirkan kedua natur manusia dan ilahi ini? Kalau demikian, apakah salah kalau kita memangggil Maria sebagai BUNDA ALLAH (MOTHER OF GOD)?
Untuk menjelaskan status Maria yang mengandung dan melahirkan Tuhan Yesus (Allah Anak), gereja mula-mula menggunakan istilah Theotokos (Eng. the bearer of God), artinya seorang yang dipakai Allah untuk mengandung dan melahirkan Allah Anak (Kristus). Sedangkan istilah “Mother of God” (Bunda Allah), yang banyak dipakai oleh gereja Katholik, bisa disalah mengerti, sehingga memberikan konotasi bahwa sifat keliahian Kristus juga diturunkan dari Maria. Hal inilah yang ditolak dan berusaha dihindari oleh gereja Kristen Protestan. Kita menerima bahwa Maria menurunkan sifat kemanusiaannya kepada Kristus, tetapi bukan sifat keilahian-Nya. Keilahian Kristus itu bersumber pada keilahian-Nya sendiri sejak kekekalan. Itu sebabnya kita tidak memakai istilah the “Mother of God” atau Bunda Allah bagi Maria.